Sebelas juta remaja angkat kaki dari Facebook pada 2011 silam. Sejak itu Facebook makin didominasi kalangan dewasa hingga tua, yakni mereka yang berumur 30 tahun ke atas.
Sementara anak muda - 18 hingga 29 tahun - punya Instagram sebagai rumah baru. Mereka bisa berbagi konten visual tanpa embel-embel teks panjang lebar. Tak banyak ruang membahas kisruh politik, berkampanye, atau menuangkan pikiran-pikiran serius nan ruwet.
Instagram seakan lebih merestui penggunanya memamerkan foto atau video perjalanan, hobi, dan keseharian lainnya yang lekat dengan kreativitas dan jiwa muda.
Tapi lagi-lagi ada yang mengusik "kemudaan" Instagram. Belakangan platform tersebut mulai disesaki iklan. Kalangan orang tua pun pelan-pelan turut mengeksiskan diri.
Meski demikian, toh Instagram tak serta-merta ditinggalkan (untuk tak menyebut pelan-pelan ditinggalkan). Masih banyak anak muda yang betah menjajalnya. Tak jarang pula yang kemudian mengembangkan bisnis dengan menggunakan strategi pemasaran via Instagram.
Alarm tanda bahaya lebih tepat ditujukan pada Twitter. Secara umum, platform tersebut memang menunjukkan penurunan penetrasi.
Indonesia yang basis pengguna Twitter-nya terhitung melimpah pun terkena dampak. Dalam dua tahun terakhir pengguna Twitter di Indonesia menurun 10 persen hingga tinggal sepertiga dari total pengguna internet.
Anak muda lebih memilih Snapchat
Menurut analisis Profesor Felicity Duncan dari Cabrini College, AS, anak muda cenderung aktif di media sosial yang mengedepankan penyebaran konten secara intim - Facebook Messenger atau Snapchat -, ketimbang penyebaran konten secara massal - Facebook dan Twitter -.
Hal itu pertama kali ia sadari saat menganalisis kebiasaan mahasiswa didikannya. Ketika menunggu kelas, kata Duncan, para mahasiswa menjajal smartphone bukan untuk mengecek Facebook, Twitter, atau Instagram.
"Mereka melihat berita terbaru dari sahabat-sahabat mereka lewat Snapchat Stories, chatting di Messenger, atau mengecek group chatting di layanan lainnya," ia menuliskan di Quartz, sebagaimana dihimpun KompasTekno, Senin (15/2/2016).
Jika para mahasiswa punya waktu lebih senggang, ia melanjutkan, barulah mereka mengecek Instagram untuk tahu postingan terbaru dari brand-brand yang mereka ikuti.
Intinya, secara garis besar, kebutuhan media sosial bagi remaja telah bergeser. Opsi mereka lebih ke intimasi, bukan penyiaran massal.
Menurut laporan Pew Research pada Agustus 2015, 49 persen pengguna smartphone berusia 18 hingga 29 tahun aktif menggunakan aplikasi chatting seperti WhatsApp, iMessage, Messenger, atau Line.
Sementara itu, 41 persen remaja menggunakan aplikasi yang memiliki kemampuan menghapus konten otomatis, seperti Snapchat. Hanya 22 persen yang menggunakan LinkedIn dan 32 persen menggunakan Instagram.
Sebenarnya, presentasi paling banyak masih diraup Facebook. Sebanyak 82 persen remaja mengaku memiliki Facebook. Tapi, "memiliki" tak berbanding lurus dengan "aktif menggunakan".
Dari 82 persen, 70 persen mengatakan tak menjajal Facebook lewat aplikasi mobile. Pengecekan aplikasi itu dilakukan sesekali via laptop, jika benar-benar sedang ingin.
Kenapa kebutuhan media sosial anak muda bergeser?
Berdasarkan diskusi dan pengamatan Duncan terhadap 80 mahasiswa AS, ada tiga alasan utama mereka meninggalkan Facebook dan Twitter. Pertama, platform tersebut dianggap bernuansa tua. Menurut Pew Research, 48 persen pengguna internet berusia di atas 65 tahun menggunakan Facebook.
Akibatnya, anak muda merasa canggung ketika orang tua, bibi, paman, atau bahkan nenek mereka meminta berteman di Facebook. Ada perasaan tak bebas berekspresi, malu, dan kikuk.
Kedua, konten di Facebook dan Twitter akan tetap ada dalam waktu lama, bahkan bisa abadi. Ingatkah bagaimana memalukannya postingan Anda lima tahun atau tujuh tahun lalu?
Ada foto-foto yang dulunya Anda anggap keren, lalu sekarang Anda berbalik mengutuk foto-foto itu. Sayangnya, terlalu banyak foto yang telah di-tag ke akun Anda, pun foto-foto yang pernah secara sadar Anda bagi. Perlu waktu untuk menghapusnya satu-satu atau menyembunyikannya.
Sementara di Snapchat, anak muda sengaja membagi hal-hal konyol untuk jadi bahan guyonan. Toh dalam 24 jam konten itu akan hilang otomatis.
Ketiga, perusahaan cenderung mengecek media sosial sebelum menerima lamaran kerja seseorang. Atas dasar itulah para remaja tak menghapus akun Facebook dan Twitter mereka.
Lebih tepatnya, media sosial tersebut hanya dijadikan topeng pencitraan: tak perlu sering-sering diperbarui dan hanya digunakan membagi hal-hal yang sifatnya tak personal.
"Mereka sangat hati-hati mengkurasi konten pada profil publik Facebook atau LinkedIn," kata Duncan.
Ekspresi yang sesungguhnya tak ditunjukkan lagi lewat Facebook dan Twitter. Hakikat media sosial yang sebenarnya disalurkan anak muda lewat Snapchat atau layanan-layanan sejenis.
Fenomena pergeseran ini punya implikasi beragam. Paling signifikan bagi pengiklan dan orang tua.
Pengiklan yang berencana menyasar anak muda, tentu harus memiliki strategi khusus untuk menjangkau mereka. Jika tumpuan harapan dialamatkan pada Facebook atau Twitter, strategi itu harus buru-buru dibenahi.
Bagi orang tua yang ingin mengontrol aktivitas maya anaknya, juga tak bisa lagi mengandalkan Facebook. Sebab platform itu hanya "tameng" bukan "isi" diri anak sesungguhnya.
Sementara anak muda - 18 hingga 29 tahun - punya Instagram sebagai rumah baru. Mereka bisa berbagi konten visual tanpa embel-embel teks panjang lebar. Tak banyak ruang membahas kisruh politik, berkampanye, atau menuangkan pikiran-pikiran serius nan ruwet.
Instagram seakan lebih merestui penggunanya memamerkan foto atau video perjalanan, hobi, dan keseharian lainnya yang lekat dengan kreativitas dan jiwa muda.
Tapi lagi-lagi ada yang mengusik "kemudaan" Instagram. Belakangan platform tersebut mulai disesaki iklan. Kalangan orang tua pun pelan-pelan turut mengeksiskan diri.
Meski demikian, toh Instagram tak serta-merta ditinggalkan (untuk tak menyebut pelan-pelan ditinggalkan). Masih banyak anak muda yang betah menjajalnya. Tak jarang pula yang kemudian mengembangkan bisnis dengan menggunakan strategi pemasaran via Instagram.
Alarm tanda bahaya lebih tepat ditujukan pada Twitter. Secara umum, platform tersebut memang menunjukkan penurunan penetrasi.
Indonesia yang basis pengguna Twitter-nya terhitung melimpah pun terkena dampak. Dalam dua tahun terakhir pengguna Twitter di Indonesia menurun 10 persen hingga tinggal sepertiga dari total pengguna internet.
Anak muda lebih memilih Snapchat
Menurut analisis Profesor Felicity Duncan dari Cabrini College, AS, anak muda cenderung aktif di media sosial yang mengedepankan penyebaran konten secara intim - Facebook Messenger atau Snapchat -, ketimbang penyebaran konten secara massal - Facebook dan Twitter -.
Hal itu pertama kali ia sadari saat menganalisis kebiasaan mahasiswa didikannya. Ketika menunggu kelas, kata Duncan, para mahasiswa menjajal smartphone bukan untuk mengecek Facebook, Twitter, atau Instagram.
"Mereka melihat berita terbaru dari sahabat-sahabat mereka lewat Snapchat Stories, chatting di Messenger, atau mengecek group chatting di layanan lainnya," ia menuliskan di Quartz, sebagaimana dihimpun KompasTekno, Senin (15/2/2016).
Jika para mahasiswa punya waktu lebih senggang, ia melanjutkan, barulah mereka mengecek Instagram untuk tahu postingan terbaru dari brand-brand yang mereka ikuti.
Intinya, secara garis besar, kebutuhan media sosial bagi remaja telah bergeser. Opsi mereka lebih ke intimasi, bukan penyiaran massal.
Menurut laporan Pew Research pada Agustus 2015, 49 persen pengguna smartphone berusia 18 hingga 29 tahun aktif menggunakan aplikasi chatting seperti WhatsApp, iMessage, Messenger, atau Line.
Sementara itu, 41 persen remaja menggunakan aplikasi yang memiliki kemampuan menghapus konten otomatis, seperti Snapchat. Hanya 22 persen yang menggunakan LinkedIn dan 32 persen menggunakan Instagram.
Sebenarnya, presentasi paling banyak masih diraup Facebook. Sebanyak 82 persen remaja mengaku memiliki Facebook. Tapi, "memiliki" tak berbanding lurus dengan "aktif menggunakan".
Dari 82 persen, 70 persen mengatakan tak menjajal Facebook lewat aplikasi mobile. Pengecekan aplikasi itu dilakukan sesekali via laptop, jika benar-benar sedang ingin.
Kenapa kebutuhan media sosial anak muda bergeser?
Berdasarkan diskusi dan pengamatan Duncan terhadap 80 mahasiswa AS, ada tiga alasan utama mereka meninggalkan Facebook dan Twitter. Pertama, platform tersebut dianggap bernuansa tua. Menurut Pew Research, 48 persen pengguna internet berusia di atas 65 tahun menggunakan Facebook.
Akibatnya, anak muda merasa canggung ketika orang tua, bibi, paman, atau bahkan nenek mereka meminta berteman di Facebook. Ada perasaan tak bebas berekspresi, malu, dan kikuk.
Kedua, konten di Facebook dan Twitter akan tetap ada dalam waktu lama, bahkan bisa abadi. Ingatkah bagaimana memalukannya postingan Anda lima tahun atau tujuh tahun lalu?
Ada foto-foto yang dulunya Anda anggap keren, lalu sekarang Anda berbalik mengutuk foto-foto itu. Sayangnya, terlalu banyak foto yang telah di-tag ke akun Anda, pun foto-foto yang pernah secara sadar Anda bagi. Perlu waktu untuk menghapusnya satu-satu atau menyembunyikannya.
Sementara di Snapchat, anak muda sengaja membagi hal-hal konyol untuk jadi bahan guyonan. Toh dalam 24 jam konten itu akan hilang otomatis.
Ketiga, perusahaan cenderung mengecek media sosial sebelum menerima lamaran kerja seseorang. Atas dasar itulah para remaja tak menghapus akun Facebook dan Twitter mereka.
Lebih tepatnya, media sosial tersebut hanya dijadikan topeng pencitraan: tak perlu sering-sering diperbarui dan hanya digunakan membagi hal-hal yang sifatnya tak personal.
"Mereka sangat hati-hati mengkurasi konten pada profil publik Facebook atau LinkedIn," kata Duncan.
Ekspresi yang sesungguhnya tak ditunjukkan lagi lewat Facebook dan Twitter. Hakikat media sosial yang sebenarnya disalurkan anak muda lewat Snapchat atau layanan-layanan sejenis.
Fenomena pergeseran ini punya implikasi beragam. Paling signifikan bagi pengiklan dan orang tua.
Pengiklan yang berencana menyasar anak muda, tentu harus memiliki strategi khusus untuk menjangkau mereka. Jika tumpuan harapan dialamatkan pada Facebook atau Twitter, strategi itu harus buru-buru dibenahi.
Bagi orang tua yang ingin mengontrol aktivitas maya anaknya, juga tak bisa lagi mengandalkan Facebook. Sebab platform itu hanya "tameng" bukan "isi" diri anak sesungguhnya.